Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aroma Vanila dari Ruang Kosong

 

Aroma Vanila dari Ruang Kosong

 


Namanya Alya. Usianya tiga puluh satu, hidup di apartemen mahal yang menghadap kota. Pagi-pagi dia bikin kopi, menuang oatmilk, menyalakan diffuser dengan aroma vanila. Semua tampak sempurna — Instagramable. Tapi tak ada yang tahu, setiap malam Jumat, ia membuka pintu bagi pria berbeda.

Bukan karena ia butuh uang. Saldo rekeningnya cukup untuk hidup tanpa kerja selama lima tahun ke depan. Ia punya bisnis skincare yang sukses, followers setia, mobil listrik, dan semua jenis serum mahal yang bisa dibeli. Tapi setiap malam, ketika lampu kamar dimatikan dan keheningan mulai berbicara, rasa kosong itu datang lagi.

Dia tak tahu sejak kapan tepatnya. Mungkin sejak ayahnya meninggalkan rumah waktu dia umur sepuluh tahun. Atau waktu ibunya bilang, “Perempuan itu harus pintar menjaga laki-laki.” Atau waktu pacarnya di kuliah menyebar foto-foto diam-diam dari ranjang. Entah yang mana duluan yang membuatnya percaya: tubuhnya bukan milik utuhnya lagi.

“Kenapa kamu mau sama aku?” tanya seorang pria padanya, suatu malam, saat keduanya terbaring dalam hening.

Alya tersenyum tipis. “Aku hanya ingin merasa masih diinginkan. Walau sesaat.”

Pria itu tak menjawab. Tak ada yang pernah menjawab.

Paginya, Alya kembali berdandan, menyemprot parfum, duduk di depan kamera, membuat konten tentang self-love dan perawatan diri. Komentarnya penuh pujian. “Kak Alya goals banget.” “Aku pengen hidup kayak Kak Alya.” Tapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu, betapa keras aroma vanila itu berusaha menutupi bau sunyi dari ruang kosong di hatinya.

Malam itu hujan turun. Tak deras, tapi cukup untuk membuat kaca jendela berkabut. Alya duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun hitam tipis yang ia beli bukan karena suka, tapi karena "laki-laki biasanya suka yang begini."

Laki-laki malam ini datang dengan jas yang rapi dan senyum manis. Arsitek, katanya. Baru cerai, katanya. Alya hanya tersenyum kecil, lalu menawarinya wine dan menyalakan musik lembut. Seperti biasanya. Seperti sudah diatur.

Tapi malam itu sedikit berbeda. Setelah selesai, laki-laki itu tak langsung pergi. Ia duduk, memandangi lukisan kecil di dinding kamar.

“Ini kamu yang lukis?”

Alya mengangguk pelan. “Iya. Sudah lama.”

Laki-laki itu terdiam sejenak. “Kamu kelihatan… kosong.”

Alya menoleh. Matanya tidak marah, tidak juga terkejut. Hanya lelah.

“Apa kamu berharap aku penuh?” katanya pelan, “Karena aku sudah lama pecah.”

Laki-laki itu tak menjawab. Tak bisa. Ia hanya bangkit, berpakaian, dan pergi. Tidak membanting pintu, tidak pamit juga. Sama seperti yang lain.

Alya duduk kembali di ranjangnya. Tangannya menyentuh bantal yang masih hangat. Tapi tubuhnya dingin. Di luar, suara hujan masih turun, lambat dan nyaris tanpa suara. Vanila dari diffuser kembali memenuhi ruangan, seperti kabut manis yang menutupi bau peluh dan dosa.

Di depan cermin, Alya menatap dirinya sendiri. Wajahnya tetap cantik. Bibirnya tetap merah. Tapi matanya... matanya seperti jendela ke rumah yang sudah lama ditinggalkan.

Dia mengusap sisa lipstik yang luntur. Lalu berkata pada bayangannya sendiri:

“Kalau bukan tubuhku, apa lagi yang bisa kupakai… untuk merasa dicintai?”

Tak ada jawaban. Cermin hanya memantulkan kekosongan yang sama. Vanila menguar lagi. Dan malam kembali hening, menunggu tamu berikutnya.

 

Post a Comment for "Aroma Vanila dari Ruang Kosong "