Aroma Vanila dari Ruang Kosong
Aroma Vanila
dari Ruang Kosong
Bukan
karena ia butuh uang. Saldo rekeningnya cukup untuk hidup tanpa kerja selama
lima tahun ke depan. Ia punya bisnis skincare yang sukses, followers setia,
mobil listrik, dan semua jenis serum mahal yang bisa dibeli. Tapi setiap malam,
ketika lampu kamar dimatikan dan keheningan mulai berbicara, rasa kosong itu
datang lagi.
Dia
tak tahu sejak kapan tepatnya. Mungkin sejak ayahnya meninggalkan rumah waktu
dia umur sepuluh tahun. Atau waktu ibunya bilang, “Perempuan itu harus pintar
menjaga laki-laki.” Atau waktu pacarnya di kuliah menyebar foto-foto diam-diam
dari ranjang. Entah yang mana duluan yang membuatnya percaya: tubuhnya bukan
milik utuhnya lagi.
“Kenapa
kamu mau sama aku?” tanya seorang pria padanya, suatu malam, saat keduanya
terbaring dalam hening.
Alya
tersenyum tipis. “Aku hanya ingin merasa masih diinginkan. Walau sesaat.”
Pria
itu tak menjawab. Tak ada yang pernah menjawab.
Paginya,
Alya kembali berdandan, menyemprot parfum, duduk di depan kamera, membuat
konten tentang self-love dan perawatan diri. Komentarnya penuh pujian.
“Kak Alya goals banget.” “Aku pengen hidup kayak Kak Alya.” Tapi tak ada satu
pun dari mereka yang tahu, betapa keras aroma vanila itu berusaha menutupi bau
sunyi dari ruang kosong di hatinya.
Malam
itu hujan turun. Tak deras, tapi cukup untuk membuat kaca jendela berkabut.
Alya duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun hitam tipis yang ia beli bukan
karena suka, tapi karena "laki-laki biasanya suka yang begini."
Laki-laki
malam ini datang dengan jas yang rapi dan senyum manis. Arsitek, katanya. Baru
cerai, katanya. Alya hanya tersenyum kecil, lalu menawarinya wine dan
menyalakan musik lembut. Seperti biasanya. Seperti sudah diatur.
Tapi
malam itu sedikit berbeda. Setelah selesai, laki-laki itu tak langsung pergi.
Ia duduk, memandangi lukisan kecil di dinding kamar.
“Ini
kamu yang lukis?”
Alya
mengangguk pelan. “Iya. Sudah lama.”
Laki-laki
itu terdiam sejenak. “Kamu kelihatan… kosong.”
Alya
menoleh. Matanya tidak marah, tidak juga terkejut. Hanya lelah.
“Apa
kamu berharap aku penuh?” katanya pelan, “Karena aku sudah lama pecah.”
Laki-laki
itu tak menjawab. Tak bisa. Ia hanya bangkit, berpakaian, dan pergi. Tidak
membanting pintu, tidak pamit juga. Sama seperti yang lain.
Alya
duduk kembali di ranjangnya. Tangannya menyentuh bantal yang masih hangat. Tapi
tubuhnya dingin. Di luar, suara hujan masih turun, lambat dan nyaris tanpa
suara. Vanila dari diffuser kembali memenuhi ruangan, seperti kabut manis yang
menutupi bau peluh dan dosa.
Di
depan cermin, Alya menatap dirinya sendiri. Wajahnya tetap cantik. Bibirnya
tetap merah. Tapi matanya... matanya seperti jendela ke rumah yang sudah lama
ditinggalkan.
Dia
mengusap sisa lipstik yang luntur. Lalu berkata pada bayangannya sendiri:
“Kalau
bukan tubuhku, apa lagi yang bisa kupakai… untuk merasa dicintai?”
Tak
ada jawaban. Cermin hanya memantulkan kekosongan yang sama. Vanila menguar
lagi. Dan malam kembali hening, menunggu tamu berikutnya.
Post a Comment for "Aroma Vanila dari Ruang Kosong "